Dom Justo Takayama (1552-1615): Seorang Martir dari Jepang
![]() |
Sumber Ilustrasi: Yotube |
Di tengah banyaknya daimyo Jepang yang memilih untuk meninggalkan keyakinan Kristen mereka, terdapat seorang daimyo yang justru rela melepaskan tanah dan seluruh kekayaannya demi mempertahankan agamanya. Beliau adalah Dom Justo Takayama.
Dom Justo Takayama, yang juga dikenal sebagai Takayama Ukon, merupakan seorang daimyo beragama Kristen yang hidup pada masa pemerintahan Sengoku di Jepang. Ia lahir sebagai pewaris bangsawan Takayama Tomoteru, penguasa Puri Sawa di Provinsi Yamato. Semasa kecil, ia bernama Hikogoro. Pada usia 12 tahun, ayahnya memeluk agama Katolik, dan Hikogoro pun dibaptis dengan nama Justo. Kemudian, namanya berganti menjadi Shigetomo, namun pada akhirnya ia lebih dikenal dengan nama Takayama Ukon. Nama "Ukon" sendiri diambil dari istilah untuk pejabat Ukonoefu, sebuah jabatan pemerintahan yang umum digunakan sebagai nama di kalangan samurai.
Justo dan ayahnya berjuang keras melewati masa-masa sulit untuk mengamankan posisi mereka sebagai seorang daimyo. Ayah dan anak ini berusaha untuk mendapatkan kekuasaan atas Puri Takatsuki, baik di bawah kepemimpinan Oda Nobunaga maupun Toyotomi Hideyoshi, setidaknya pada tahun-tahun awal pemerintahan Hideyoshi.
Selama masa pemerintahan mereka di Takatsuki, Justo dan ayahnya, Dario, aktif memajukan kebijakan yang mendukung komunitas Kristen. Banyak rekan-rekan mereka yang berada di bawah pengaruh ajaran Kristen.
Namun, pandangan Toyotomi Hideyoshi terhadap agama Kristen sangat bertentangan. Pada tahun 1587, ia mengeluarkan perintah pengusiran bagi para misionaris. Sementara banyak daimyo memilih untuk mematuhi perintah ini dan meninggalkan agama Katolik, Justo dengan tegas menyatakan kesediaannya untuk kehilangan tanah dan hartanya demi mempertahankan imannya.
Untuk beberapa waktu, Justo hidup di bawah perlindungan teman-temannya. Akan tetapi, dengan adanya larangan baru terhadap agama Kristen yang dikeluarkan oleh penguasa saat itu, Tokugawa Ieyasu, ia akhirnya diusir dari Jepang. Pada tanggal 8 November 1614, bersama dengan sekitar 300 umat Kristen lainnya, ia meninggalkan tanah kelahirannya melalui Nagasaki. Setelah berlayar selama kurang lebih dua minggu, mereka tiba di Manila dan disambut dengan hangat oleh para Yesuit Spanyol dan penduduk asli Filipina.
Bangsa Filipina keturunan Spanyol bahkan menawarkan bantuan untuk menggulingkan pemerintahan Jepang dengan tujuan melindungi umat Kristen di sana. Namun, Justo menolak tawaran tersebut dengan berkata, "Aku tidak akan melawan dengan senjata atau pedang, tetapi dengan kesabaran dan iman sesuai dengan ajaran Tuhan dan Juruselamat saya, Yesus Kristus." Hanya berselang 40 hari kemudian, ia meninggal dunia karena sakit.
Pada masa itu, bangsa Spanyol menyebut wilayah Apco sebagai "Plaza Kuning" karena lebih dari 3.000 orang Jepang bermukim di sana. Plaza Dilao menjadi saksi bisu dari kota tua Paco, dan di sana berdiri sebuah patung Dom Justo Takayama. Patung tersebut menggambarkan Justo sebagai seorang ksatria perang dengan rambut terikat, membawa pedang yang mengarah ke bawah dengan sosok Yesus yang disalibkan tergantung di atasnya.
Ketika ia wafat pada tahun 1615, pemerintah Spanyol memberikannya pemakaman secara Kristen dengan penghormatan militer sebagai seorang daimyo. Ia tercatat sebagai Daimyo pertama yang dimakamkan di Filipina.
Takayama Ukon adalah figur yang menimbulkan berbagai pandangan. Kalangan Yesuit memandangnya sebagai pilar iman Kristen di Jepang. Sementara itu, sebagian orang Jepang, baik pada masa itu maupun masa kini, menganggapnya sebagai simbol kepalsuan di era Sengoku.
Meskipun menghadapi penganiayaan, Takayama dengan berani terlibat aktif dalam kegiatan Gereja dan misi. Ia telah menjadi saksi dan penanda penting dalam sejarah Jepang. Kesaksian hidupnya terus bergema hingga saat ini, menjadi pengingat akan Firman Tuhan yang ditujukan bagi semua bangsa, yang mengajak mereka untuk mengarahkan hati hanya kepada Allah Yang Esa dan Putra-Nya, Yesus Kristus.
Pada bulan November 2008, sebuah upacara beatifikasi untuk 188 martir Jepang diadakan di Nagasaki. Awalnya, Konferensi Waligereja berencana untuk memasukkan Takayama di antara para martir tersebut. Namun, pada saat itu, Vatikan belum mengakuinya sebagai martir. Kini, seiring dengan perkembangan teologi kemartiran, Kongregasi Vatikan untuk Penggelaran Kudus telah bersedia menerima Takayama sebagai seorang martir.
0 comments: